Mandulnya TKPKD dalam Penanggulangan Kemiskinan

Saya ingat apa yang disampaikan oleh Andrea Hirata dalam Novel Titralogi Laskar pelangi yang berjudul sang pemimpi, ia mengatakan bahwa sikap realistis itu adalah orang yang bersungguh-sungguh dimana kita berdiri. Tentu ini menjadi pijakan bagi saya untuk mengurai keberadaan TKPKD. Secara yuridis TKPKD hanya diatur oleh Peraturan Presiden No.15/tahun 2010 dan Permendagri No.42/tahun 2010. Semua sudah mafhum, bahwa keberadaan TKPKD hidup enggan mati tidak mau, bahkan terkesan TKPKD hanya pelengkap penderita, lip service di mana faktanya tidak berkontribusi apa-apa.
Sejatinya TKPD itu mampu memainkan perannya secara elegan mengingat keberadaannya yang sangat strategis. Secara tegas TKPKD dimandatkan oleh konstitusi Permendagri Pasal 10, di mana TKPKD memiliki peran dalam melakukan koordinasi dalam penanggulangan kemiskinan dan berfungsi mengendalikan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di kabupaten. Tampaknya peran strategis ini tidak berjalan secara maksimal. Bagaimana mungkin penanggulangan kemiskinan di daerah bisa berjalan secara optimal sementara TKPKD tidak pernah melakukan koordinasi bahkan konsolidasi untuk melaukan pengendalian penanggulangan kemiskinan. Hal ini terbukti bahwa TKPKD hanya ada dalam lembaran normatif yang jauh paggang dari api. Fakta empiris membutikan keterlibatan ketua TKPKD yang dalam hal ini Wakil Bupati belum melakukan koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi lintas sektor terkait dalam penanggulangan kemiskinan.
Ahistoris dan absurd itulah yang terjadi mengenai keberadaan TKPKD. Bagaimana bisa menggerakakkan SKPD sektor swasta dan masyarakat sementara TPKD sebagai lokomotif untuk mendorong dan menggerakkan lintas stakeholders tidak berjalan. Tidak bisa kita bantah bahwa kehadiran TKPKD secara personal dan kelembagaan menjadi magnetik yang mampu menggerakkan berbagai multi-stakholders. Karena budaya patronase dalam masyarakat kita lebih-lebih dalam budaya birokrasi masih kental dengan model kepemimpinan feodalistik tak bisa dihindari. Oleh karena itu, berfungsinya TKPKD yang dalam hal ini dinahkodai oleh Wakil Bupati dan Bappeda akan memberikan resonansi terhadap SKPD khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Aktifnya TKPKD ini tidak sekedar normatif dan simbolik semata, terlibatnya semua unsur sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden N0. 15/tahun 2010 pasal 19 ayat (1) bahwa Keanggotaan TKPKD terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan pemangku kepentingan lainnya dalam penanggulangan kemiskinan. Ayat (2) Ketua TKPKD kabupaten adalah wakil bupati yang ditetapkan oleh bupati, ayat (3) Sekretaris TKPKD kabupaten adalah kepala Bappeda yang ditetapkan oleh bupati.
Fakta empiris yang terjadi terkait dengan peran dan fungsi TKPD menjadi mimpi buruk bagi keseriusan dalam penanggulangan kemiskinan. Dalam istilah teologis, wujuduhu kaadamihi lembaga ini keberadaannya sama dengan tiadanya.
Korelasi KBP dan TKPKD
Tentu evaluasi kritis ini tidak dimaknai sebagai meminjam bahasa orde baru adalah sikap pembangkangan dan subversif. Tetapi lebih beroreintasi pada maksimal dan optimalnya peran TKPKD dalam penanggulangan kemiskinan. Hal ini berkelindan dengan diberlakukannya semangat otonomi daerah untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah. Keberadaan TKPKD yang secara normatif diatur oleh UU dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, maka perlu kiranya untuk memaksimalkan perannya dimana selama ini hanya ada dalam catatan saja tetapi miskin dengan aksi nyata. Sungguh ini kita rasakan terutama dalam siklus kota. Dan pada gilirannya, hanya nama-nama saja yang dilaporkan terkait dengan pengurus TKPKD tetapi dalam praksis gerakannya masih dalam tanda tanya.
Kiranya, jika TKPKD ini aktif maka percepatan penanggulangan kemiskinan semakin akseleratif. Secara praktis kita bisa mengalkulasi, jika wakil bupati datang bahkan menjadi pioner dalam melakukan koordinasi dengan berbagai dinas atau SKPD, maka saya yakin bahwa yang mengahdiri pertemuan tersebut bukan stafnya atau siapa saja yang biasa diutus oleh kepala dinas, kenapa ini terjadi, inilah potret nyata budaya birokasi yang masih menempatkan personal sebagai daya tarik,bukan berpijak pada sistem dan peran fungsi yang diembannya.
Apalagi jika keaktifan TKPKD berkorelasi positif dengan aktifnya KBP sebagai komunitas pelajar yang menghimpun diri karena dilatari kepedulian kepada penanggulangan kemiskinan. KBP yang di dalamnya ada LSM, perguruan tinggi, wartawan, SKPD dan kelompok peduli lainnya, maka penanggulangan kemiskinan dan percvepatan kesejehteraan tidak hanya ada dalam lembaran sejarah yang kadangkala usang manakala ada pergantian rezim dan rotasi kepemimpinan.
Seperti apa yang saya sebutkan di atas dengan meminjam bahasa Andrea Hirata, bahwa TKPKD tidak pernah berpikir realistis untuk bersungguh-sungguh memaksimalkan kelembagaan TKPKD, tetapi lebih berpikir praktis dan bahkan politis sehingga sangat sulit untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi mengenai penanggulangan kemiskinan yang ada di dearah masing-masing. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi secara kritis mengenai keberadaan TKPKD. Walaupun pergantian Presiden sudah ada di ambang pintu, apakah dilakukan evaluasi atau justru bubar bersama lengsernya Presiden SBY dari tampuk kekuasaan. Wallahu a’lam bisshawab. [Jatim]

Penulis:
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.       
Askot CD Mandiri Kab. Madiun   
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan

Editor: Nina Firstavina
Sumber:
http://p2kp.org/wartadetil.asp?mid=6781&catid=2&

Komentar

Postingan Populer