Mengurai Siklus Kota dalam pusaran kata-kata

Sejak awal saya bergabung dengan program, di tahun 2007, suara para elit program seringkali menyampaikan dan memberitahukan mengenai Siklus Kota PJM Kota. Sampai kini, tiga Koordinator Kota (Koorkot) dua Konsultan Manajemen Wilayah (KMW), dari Fasilitator hingga menjadi Asisten Kota (Askot) Community Development (CD) Mandiri belum ada bukti riil dokumen Siklus Kota atau PJM Kota yang merepresentasikan substansi Siklus Kota. Lebih tragis pemerintah daerah kurang respon terhadap keberadaan Siklus Kota itu. Salah satunya seperti Forum Komunikasi AntarBKM (FKA) tingkat kabupaten, Komunitas Belajar Perkotaan (KBP) dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD).
Siklus Kota hanya menjadi laporan bahkan berhenti dalam tingkatan evaluasi yang tak berdampak apa-apa. Performa Siklus Kota sebagai langgam gerakan bersama dalam penanggulangan kemiskinan seolah menjadi diskurus semata yang hilang ditelan waktu. Pertanyaannya, apakah Siklus Kota hanya berhenti dalam pusaran kata-kata atau buah bibir dalam Rapat Koordinasi (Rakor). Realitas ini menjadi kegelisahan dan kajian kita semua, tak perlu saling menuding diantara kita selaku paelaku program. Kesungguhan dan solusi bersama akan lebih bermakna ketimbang menghakimi antara sesama pelaku program. Baik dari KMP ke KMW, antara Team Leader (TL), Tenaga Ahli (TA) kepada Koorkot dan Askot CD Mandiri bahkan pemerintah daerah.
Lebih dari itu, keberadaan FKA, TKPKD dan KBP dan Tim Koorkot seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pendekatan menyeluruh terhadap multistakeholder adalah upaya strategis dan politis agar Siklus Kota sebagai medium perubahan dan akselerasi penanggulangan kemiskinan bisa terwujud.
Jika merunut terhadap realitas di atas, sebenarnya banyak hal yang melahirkan kenapa Siklus Kota hanya menjadi catatan dalam lembaran kertas saja. Pertama, kekuatan struktur legal formal tampaknya berpengaruh terhadap komitmen, progresivitas keberdaan Siklus Kota. Respon Pemerintah daerah terhadap Peraturan Presiden No. 15 tahun 2010 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.42 Tahun 2010, yang mengatur mengenai percepatan penanggulangan kemiskinan dan peran dan fungsi TKPK seolah hanya syarat normatif yang tidak memiliki konsekuensi hukum dan politik. Sehingga amat wajar kemandulan TKPKD hampir merata di wilayah Jawa Timur di 25 kota dan kabupaten.
Tulisan saya sebelumnya mengenai KBP dan Manefesto Politik Anggaran dan Mandulnya TKPKD dalam Penanggulangan Kemiskinan merupakan kegelisahan saya sebagai pelaku program mulai menjadi Fasilitator hingga menjadi Askot CD Mandiri, dimana Siklus Kota dan PJM Kota hanya berhenti dalam diskurus saja.
Kedua, kultur politik, saya memaklumi keberadaan Siklus Kota hanya menjadi ornamen dalam pentas politik yang bandul politiknya terseret jauh dalam kubangan materialisme politik dan kekeuasaan an sich. Menempatkan politik sebagai instrumen untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat miskin menjadi agenda politik yang tidak tahu juntrungnya. Itulah budaya politik yang masih berkutat pada kekuasaan semata. Lebih tragis birokrasi sebagai alat politik dan kebijakan masih memasangkan muka feodalismenya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (baca: UU N0. 25 Tahun 2009).
Lemahnya struktur hukum dan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden dan Peraturan dalam Negeri memiliki daya dan pengaruh dalam mendorong pemerintah daerah terlibat aktif dalam mengatasi kemiskinan. Begitu juga dengan budaya politik yang ada di masing-masing daerah turut berkontribusi dalam mendesain anggaran untuk berpihak kepada warga miskin.
Kiranya tidak berlebihan manakala saya menempatkan Siklus Kota hanya menjadi debu-debu ilusi yang bertebaran dan berterbangan melintasi gurun sahara, hilang tidak tahu rimbanya. Bahkan, Siklus Kota hanya menjadi fatamorgana dari siklus dalam program ini. Meminjam istilah teologis, Siklus Kota seperti ada tetapi seperti tidak ada (wujuduhu kaadamihi). Dalam beberapa rakor dan evaluasi, posisi Siklus Kota yang stagnan dimaknai wajar dan biasa-biasa saja. Karena Siklus Kota tidak mengganggu pemanfaatan BLM.
Artinya siklus Kota menjadi anak tiri ketimbang siklus BLM, Pemberdayaan Masyarakat (PM) Manajemen keuangan, infrastruktur. Implikasinya adalah tidak ada Koorkot yang memburu dan berlomba untuk mendorong aktifnya KBP, TKPKD dan FKA walaupun secara substansial keberadaannya sangat signifikan dalam mendorong dan mendesak anggaran yang berpihak kepada masyarakat miskin.
Analisis kemiskinan Kota tak akan pernah selesai manakala instrumennya tidak pernah dilakukan dan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan kemiskinan. TKPKD, KBP, refleksi kemiskinan Kota dan Startegi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) serta integrasi penanggulangan kemiskinan dengan Musyawarah Perencanaan hanya menjadi ritus dan prasasti permanen yang tidak berdampak apa-apa. Dan pada gilirannya, menguap begitu saja.
Siklus Kota dan Politik Anggaran
Tentu menjadi keperihatinan bersama kita sebagai pelaku program. Walaupun ada sebagian menilai bahwa jengan terlalu serius memikirkan mengenai Siklus Kota. Tetapi pada prinsipnya, Siklus Kota memiliki spektrum politik dan kebijakan jika dilakukan secara serius. Hal ini terkait dengan persoalan politik dan kebijakan daerah mengenai komitmen dalam mempercepat proses kesejahteraan masyarakat di daerah. Inilah kiranya muara dari konsep desentralisasi kekuasaan atau otonomi daerah yang di atur dalam UU 32 Tahun 2004. Agar daerah lebih leluasa untuk mengelola daerahnya sesuai dengan kultur sosiologis di masing-masing daerah. Percepatan kesejahteraan masyarakat daerah menjadi kewenangan pemerintahan yang ada di daerah. Diktum itu menjadi absah karena selama 32 tahun sentralisasi kekuasaan tak bisa dihindari.
Siklus Kota dan politik anggaran harus bersenyawa sehingga penanggulangan kemiskinan tak hanya menjadi janji politik dan agenda semata. Tentu ini menjadi tugas kita semua untuk mendorong dan mengawal para pemangku kepetingan dan kebijakan lebih intensif. Oleh karena itu, keberadaan, keaktifan KBP, FKA, TKPKD menjadi lokomotif perubahan menjadi keniscayaan sejarah yang tak bisa ditawar.
Kita tahu, entitas politik daerah banyak yang tidak sesuai dengan harapan, akan tetapi tidak ada kata menyerah menempatkan dan memposisikan Siklus Kota sebagai instrument startegis agar pro poor budgeting bisa terwujud. Hal ini penting guna memaksimalkan anggaran daerah diperuntukan untuk kebutuhan dan kepentingan masyarakat miskin agar menjadi sejahtera.
Due menilai (Baca: Rinusu, Sri Mastuti, Panduan Praktis Mengontrol APBD) Anggaran Negara adalah suatu pernyataan tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu. Baswir (Baca: Akuntansi Pemerintahan Indonesia) anggaran pada umumnya, adalah alat dan gambaran dari kebijakan negara/daerah yang dinyatakan dalam ukuran uang, yang meliputi baik kebijakan pengeluaran untuk suatu periode di masa yang akan datang maupun kebijakan penerimaan untuk menutupi pengeluaran tersebut. Melalui anggaran negara/daerah dapat diketahui kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan negara di masa yang lalu, serta maju atau mundurnya kebijakan negara/daerah yang hendak dilaksanakan pemerintah di masa yang akan datang.
Oleh karena itu Siklus Kota dan politik anggaran merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkelindan dalam mempercepat kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah. Politik hanya menjadi masalah politik kekuasaan saja jika tidak didorong secara serius untuk menganggarkan rakyat supaya terlepas dari belenggu kemiskinan. Kesejahteraan hanya menjadi cita-cita dan agenda saja manakala para politisi tidak, menempatkan anggaran sebagai instrument politik untuk kepentingan masyarakat utamanya masyarakat miskin. Lantas kapan Siklus Kota itu bisa menjadi entitas gerakan yang mampu mempengaruhi politik anggaran yang pro poor? Wallahu-a’lam bisshowab. [Jatim]

Penulis:
Abdus Salam As’ad, S.Sos., M.Si.       
Askot CD Mandiri Kab. Madiun   
Koorkot 09 Kota Madiun
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan

Editor: Nina Firstavina

Sumber:
http://p2kp.org/wartadetil.asp?mid=6875&catid=2&

Komentar

Postingan Populer