Pengembangan Ekonomi Lokal dalam PLPBK

Rina wengi aku tansah ngayun-ngayun. Sesinome tanjung harja. Mangayun ayun panggalih. Lir mulat randu kang kentar. Aku kang bakal nututi.”
Siang malam kami selalu menanti kemakmuran dan pelestarian budaya. Jangan sampai melihat daun randu yang hanyut, seperti hanyutnya budaya oleh pengikisan zaman.
Demikian kira-kira bunyi salah satu bait syair yang sayup-sayup terdengar di tengah iringan gamelan Karawitan Jawa dalam acara talkshow Taman Gabusan di Stasiun TVRI Yogyakarta, pada Selasa, 5 November 2013.
Saat iringan gamelan mulai ditabuh, kamerawan dengan cermat terus membidikkan kameranya ke arah empat sinden yang sedang melantunkan syair ”Ayun-Ayun Tanjung Harja” itu. Pengahayatan yang amat kuat dari keempat sinden berusia paruh baya itu sontak membawa hanyut audiens yang memadati seisi ruang siaran itu dalam suasana hening. Betapa tidak, lantunan merdu itu seperti sedang menyuarakan pesan kegalauan, sekaligus harapan yang begitu mendalam dari perjalanan hidup manusia ditengah hiruk pikuk kehidupan ini. Sesekali suara lirih dari salah satu sinden tadi sepertinya hendak mengumandangkan duka atas raibnya hak-hak kita untuk menjadi manusia berbudaya dan bermartabat. Sendi-sendi kebudayaan dan martabat kita sebagai manusia sedang dicabik – cabik oleh keserakahan modernisme.
Pertunjukan seni tradisional “Karawitan” dalam
talkshow “Taman Gabusan” di TVRI Yogyakarta,
merupakan bukti apresiasi terhadap kearifan lokal
(local wisdom--atau dikenal juga dengan istilah
indigenous knowledge) serta pelestarian budaya
lokal sebagai salah satu potensi modal sosial yang
perlu terus ditumbuh-kembangkan
Bagi mereka penggiat seni tradisional seperti karawitan dan sederet seni tradisional lainnya yang sarat dengan pesan moral untuk saat ini sudah jauh kalah bersaing dengan budaya pop (identitas gaya hidup modern) yang serba instan. Sebut saja yang belakangan sedang ngetren adalah dangdut koplo ”Buka Sitik Joss” besutan Eny Sagita yang erotis, atau house music ”Wedi Karo Bojomu” oleh Ratna Antika. Selera pasar memang sedang bergeser mengarah gaya hidup pop yang serba instan, cepat, efektif, praktis, efisien, yang—dalam banyak hal—mengabaikan kandungan nilainya (value).
Untuk diketahui, gaya hidup modernisme saat ini memang bukan saja sedang mengancam aspek kebudayaan yang menjadi sandaran modal sosial kita, tapi juga mulai merambah pada sektor perekonomian rakyat yang sebelumnya secara turun temurun telah menjadi warisan nenek moyang kita. Pasar tradisional yang dahulu banyak dijumpai di dusun-dusun sebagai simbol perekonomian rakyat saat ini sudah mulai ditinggalkan. ”Pasar Rakyat” sebagai simbol perekonomian, yang sejatinya tak saja berfungsi sebagai sekadar tempat transaksi menjual dan beli melainkan juga wahana persemaian sosial dalam menumbuhkan ikatan sosial di masyarakat, kini dikoyak para pemodal kuat yang mampu mengintervensi pasar ke desa-desa melalui jaringan ”perdagangan ritel” mini marketnya.
Dalam hal ini, talkshow ”Taman Gabusan” yang dihelat Pemerintah Kabupaten Bantul bersama OSP 5 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) PNPM Mandiri Perkotaan di Stasiun TVRI Yogyakarta, pada Selasa, 5 November 2013, pukul 16.00 sampai 17.00 WIB, menyuguhkan diskursus tentang krisis ekonomi kerakyatan, juga juga mengangkat persoalan modal sosial (social capital) yang akan menjadi karakter budaya masyarakat madani. Hal ini dilakukan dalam konteks program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) PNPM Mandiri Perkotaan, sebagai salah satu program untuk mendorong kemandirian gerakan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada potensi sumberdaya lokal.
Dengan latar belakang narasumber beragam, talkshow kali ini berlangsung demikian hangat dan semakin komperehensif. Menurut Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembinaan dan Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat R. Haryo Satriyawan, PLPBK PNPM Mandiri Perkotaan, sebagai salah satu intervensi program lanjutan dalam percepatan penanggulangan kemiskinan, adalah salah satu pola pembangunan kawasan berkelanjutan yang menitikberatkan pada pendekatan konsep pembangunan holistik. Yakni pembangunan yang mencakup keseimbangan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi.
Masih menurut Haryo, lingkup program PLPBK dalam pengembangan ekonomi lokal (local economic development) berorientasi pada pembangunan ruang (spatial) prasarana dan sarana (infrastrusktur) ekonomi yang dapat menunjang kegiatan ekonomi lokal masyarakat miskin di kawasan itu. Selain itu juga menempatkan pembangunan ruang sosial (social spatial) sebagai dasar pengembangan semangat (spirit) kewirausahaan (entrepreneurship), keterampilan, daya saing, kebersamaan, jujur, attitude sebagai modal sosial.
Narasumber  talkshow  “Taman Gabusan” di TVRI
Yogyakarta. Dari kiri: Koordinator BKM Desa Pleret
Ahmad Sudarmi, Koordinator BKM Desa Tirtonirmolo
Sri Hono Eko Putro, PPK Pembinaan dan Pelaksanaan
Pemberdayaan Masyarakat R. Haryo Satriyawan dan
Kabid Koperasi dan UKM, Dinas Perindustrian
Perdagangan dan Koperasi Kab. Bantul Tri Murdianani
Talkshow dengan topik “Pengembangan Ekonomi
Lokal (local economic development) dalam Program
PLPBK” yang diangkat dalam talkshow “Taman
Gabusan” di TVRI Yogyakarta kerjasama Pemkab
Bantul dan OSP 5 DIY PNPM Mandiri Perkotaan
terbukti menyedot perhatian masyarakat untuk
datang langsung di Studio 1 TVRI Yogyakarta
Sementara itu, menurut Koordinator Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Tirtonirmolo Sri Hono Eko Putro, isu Pengembangan Ekonomi Lokal (local economic development) kerap dipandang teramat seksi sebatas ”komoditas politik”. Namun, komoditas yang dihasilkan (produk) mereka para pelaku ekonomi lokal sesungguhnya benar-benar mulai banyak ditinggalkan. Bahkan, mereka para pelaku ekonomi yang nyata-nyata mengandalkan potensi/sumberdaya lokal ini disanjung-sanjung saat seminar, workshop, talkshow dan berbagai forum ilmiah lainnya. ”Tapi, sesunggunya mereka digencet oleh liberalnya pasar kapitalis, yang didalangi para tengkulak dan birokrat yang berrmental importir itu,” kata Sri Hono dengan lantang.
Berkat program PLPBK di kelurahannya, masyarakat di Desa Tirtonirmolo yang kini memiliki workshop kuliner ”KATONMANTEN”—Kawasan Beton, Madukismo dan Manten—mampu membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar, juga beberapa produk kuliner berbahan baku lokal berdaya saing tinggi, dan sudah terbukti dapat menembus pasar internasional, seperti China.
Lain pula ceritanya di Desa Pleret, Bantul. Kisah sukses yang disampaikan oleh Koordinator BKM Pleret Ahmad Sudarmi tentang pesatnya geliat ekonomi pasar ”Klithikan” (semacam pasar onderdil/spare part bekas), setelah ditata melalui program PLPBK. Menurut Ahmad, Pasar Klitikan, yang sebelumnya hanya sebagai kegiatan ekonomi sampingan masyarakat di sekitar Desa Pleret, kini tumbuh pesat menjadi pusat perdagangan spare part ”bekas” di Kabupaten Bantul. Bahkan, saat ini sudah ada kios-kios yang mulai menjual onderdil baru”. Katanya.
”Omzet pedagang di Pasar Klithikan Pleret, yang sebelumnya hanya mencapai rata-rata Rp150 ribu per hari, kini melonjak jauh hingga rata-rata mencapai Rp400 ribu per hari,” tegasnya, penuh semangat.
Tidak berlebihan memang apa yang disampaikan laki-laki yang sehari-harinya berprofesi sebagai guru itu. Secara fisik, infrastruktur Pasar Klithikan yang dibangun tahun 2010 melalui program PLPBK ini tak saja mampu mengubah kawasan dari kesan sebelumnya—urakan dan kumuh. Kini, mampu menciptakan kesan sebagai kawasan baru perdagangan yang cukup menanjikan bagi warga Desa Pleret dan sekitarnya. [DIY]

Penulis:
Sudrajat
Tenaga Ahli Sosialisasi
OSP 5 Provinsi DI Yogyakarta    
PNPM Mandiri Perkotaan

Editor: Nina Firstavina

Sumber:
http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=6206&catid=3&

Komentar

Postingan Populer