Siklus Kota dalam Perspektif Political Will State


Siklus kota merupakan terminologi baru dalam dunia pemberdayaan. Istilah yang dipopulerkan oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan ini tidak bermakna apa-apa dalam konteks pemberdayaan pada umumnya. Namun jangan salah, istilah ini sesungguhnya merupakan terminologi khas yang digunakan oleh program ini. Istilah ini dalam arti luas dialamatkan untuk menjelaskan sebuah kegiatan fasilitasi, mediasi dan advokasi kepada pemerintah daerah demi terciptanya tata pemerintahan yang good governance dan untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor).
Dalam arus besar kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan, siklus kota sejajar dengan kegiatan-kegiatan pemberdayaan di tingkat masyarakat seperti siklus tahunan masyarakat maupun implementasi bantuan langsung masyarakat (BLM). Hal ini sesuai dengan hakikat pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Menurut Adam Ferguson dalam bukunya berjudul An Essay on the History of Civil Society (1773), pada dasarnya pemberdayaan masyarakat merupakan perwujudan citra negara demokratis yang unsur-unsurnya antara lain:
  1. Adanya kemauan politik dari negara (political will state)
  2. Adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society)
  3. Adanya civil society yang kuat, mandiri dan beradab.
Pola-pola pemberdayaan masyarakat sebagai citra negara demokratis terejawantah pada pendekatan konseptual PNPM Mandiri Perkotaan. Tidak terkecuali dengan pola-pola pendampingan yang menyasar pada stakeholder di pemerintah daerah sebagai entitas yang mempunyai otoritas pengambil kebijakan.
Secara metodologis, konsep pemberdayaan dengan menggunakan pendekatan yang merapat sekaligus menjaga kemesraan dengan sumber kekuasaan juga dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu dalam perspektif teoritis juga menemukan relevansinya karena fungsi civil society dalam hubungannya dengan negara ekstrimnya ada dua madzhab besar yang berbeda. Pertama sebagai komplementer negara, yang satunya berposisi diametral dengan negara atau sebagai tandingan negara (counter-balancing the state/counter-failing forces). Dalam hal ini, konsep PNPM Mandiri Perkotaan lebih memposisikan sebagai komplementer negara dari pada berposisi diametral.
PNPM Mandiri Perkotaan mencoba mengartikulasikan pemberdayaan di tingkat pemerintahaan kota atau kabupaten dalam beberapa point kegiatan lengkap dengan output dan instrumennya. Pertama, siklus kota dalam arti lebih spesifik, yakni sebuah intervensi pemberdayaan yang dilakukan untuk tumbuhnya pembangunan partisipatif dan pro poor budgeting sebagai output-nya di level pemerintahan khususnya pemerintah kota dan atau kabupaten. Sedangkan alih kelola aplikasi elektronik siklus kota sebagai alat ukurnya.
Intervensi kedua adalah upaya untuk tumbuhnya kemitraan berbagai stakeholder di daerah. Pada intervensi ini diharapkan terjadi kerjasama harmonis tiga pilar civil society yaitu pemerintah (daerah), masyarakat ekonomi (swasta) dan masyarakat sipil. Tingkat keberhasilan dari intervensi ini setidaknya akan tercermin pada keberhasilan pemerintah daerah dalam menyusun sebuah dokumen atau apapun bentuk dan namanya yang merupakan representasi informasi atau dokumen penting tentang kemitraan. Indikator keberhasilan intervensi ini akan nampak jelas pada seberapa besar pemerintah daerah mampu untuk memfasilitasi terjadinya kemitraan antarstakeholder.
Ketiga, kegiatan di tingkat kota atau kabupaten juga membidik pada tumbuh kembangnya ekonomi lokal. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat otonomi daerah yang sesungguhnya mempunyai spirit mulia pada awalnya, namun terjebak pada hiruk pikuk perebutan kekuasaan lokal sehingga memunculkan “raja-raja kecil” tanpa di barengi dengan out put yang jelas dan terukur terhadap perkembangan ekonomi lokal. Point ketiga ini setidaknya akan tergambar pada seberapa besar lahir kebijakan-kebijakan pemerintah daerah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi lokal, tambahan devisa daerah dan pengembangan jaringan pasar dan kemitraan.
Tantangan
Dalam implementasinya, siklus kota sebagai bagian agenda pemberdayaan PNPM Mandiri Perkotaan merupakan proses pendampingan yang cukup menantang jikalau berlebihan untuk dikatakan sangat menantang. Hal ini setidaknya dibandingkan dengan siklus masyarakat atau implementasi bantuan langsung masyarakat (BLM). Mengapa demikian?
Pertama, penguatan kapasitas di tingkat pemerintahan dalam pemberdayaan menempati puncak piramida pemberdayaan meskipun kecil secara kuantitas namun secara kualitas menempati posisi yang sangat strategis.
Kedua, dalam dunia pemberdayaaan penguatan peran pemerintah merupakan tahap finishing dalam agenda perubahan sosial. Memahami persoalan ini, teori Weinberg menjadi relevan dijadikan referensi. Ada tiga tahapan atau proses yang harus dilalui dalam perubahan sosial. Tahapan atau proses itu adalah awaraness, policy determinatian dan reform.
Awareness adalah tahapan gerakan sosial untuk mengupayakan penyadaran masyarakat dan menciptakan opini publik bahwa nilai-nilai dalam paradigma dan perspektif lama kurang benar dan dianggap menjadi sumber utama kegagalan. Pembangunan dengan menggunakan perspektif lama justru menimbulkan ketidakberdayaan. Terciptanya opini publik terhadap kegagalan paradigma lama kemudian dijadikan pintu masuk (entry point) untuk menawarkan paradigma dan perspektif alternatif dengan nilai-nilai baru. Hal inilah yang kita lakukan pada proses pendampingan di tingkat masyarakat. Siklus tahunan masyarakat maupun implementasi BLM adalah media pembelajaran yang digunakan.
Tentu, proses perubahan sosial tidak berhenti sampai di situ. Gerakan perlu dilanjutkan untuk memperjuangkan agar nilai pemberdayaan diadopsi oleh banyak kalangan di masyarakat. Bukan hanya itu, perlu juga dilakukan usaha untuk mempengaruhi pengambil kebijakan. Dengan demikian nilai pemberdayaan lebih mewarnai dan lebih menjiwai kebijakan yang dirumuskan. Hal inilah yang disebut sebagai tahapan policy determination.
Ketiga, kebijakan tidak terlalu bermakna manakala tidak teraktualisasi dalam kehidupan. Oleh sebab itu, gerakan juga perlu dilanjutkan untuk mengawal implementasi kebijakan sehingga betul-betul menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih berkeadilan dan lebih membumi. Inilah yang disebut sebagai tahapan reform. Policy determination dan reform inilah yang sedang diupayakan dalam pelaksanaan pendampingan siklus kota.
Strategi
Perbedaan yang menyolok antara siklus kota dengan siklus pemberdayaan di tingkat masyarakat di PNPM Mandiri Perkotaan adalah pada pelaksanaanya yang selalu bersentuhan dengan senyapnya belantara sekaligus hiruk pikuknya birokrasi. Satu hal lagi yang tidak terhindarkan dalam pendampingan di level ini adalah gesekan yang kadangkala cukup keras terasa dengan pelaku pemerintahan yang mempunyai otoritas dalam pengambil kebijakan.
Beberapa hal tersebut di atas menjadi penting untuk difahami dan disadari seraya terbangun kesadaran di tingkat pendamping untuk menyusun strategi jitu untuk menjawab tantangan-tantangan tadi. Setidaknya ada dua strategi yang bisa dilakukan, yaitu:
Pertama, strategi internal, yaitu strategi yang diperuntukkan bagi pendamping. Beberapa hal yang harus dilakukan dengan matang di tingkat pelaku pendampingan antara lain:
  • Penguatan kapasitas pendamping. Bangun pemahaman yang komprehensif di internal konsultan untuk proses pelaksanaan siklus kota. Di akui atau tidak, siklus kota yang sudah sedemikian lama digagas sebagai bentuk advokasi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di daerah keberadaannya masih “abstrak” di tingkat internal konsultan. Kondisi semacam ini sangat tidak memadai lagi manakala harus melakukan pendampingan di tingkat kota yang notabene para pelakunya mempunyai pemahaman yang mapan baik dari segi konsep apalagi pelaksanaan di tingkat pemerintahan. Jika kondisi ini tidak segera kita benahi, maka tidak menutup kemungkinan hanya akan membuat pelaku-pelaku di pemerintah daerah terpingkal dengan model pendampingan yang kita lakukan.
  • Alat ukur yang jelas serta tersosialisasikan secara merata kepada para pelaku pendampingan. Substansi dan pemahaman pendamping saja tidak cukup karena pendamping juga harus tahu dan faham tools apa yang digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pada pendampingan ini.
Kedua, strategi eksternal, yaitu strategi yang kita terapkan untuk pelaku sasaran dampingan. Untuk itu, beberapa hal yang harus kita lakukan dengan cermat adalah:
  • Memberikan pemahaman kepada para pemangku kepentingan di daerah tentang manfaat yang akan mereka dapatkan dengan pelaksanaan siklus kota. Tanpa ada pemahaman tentang hal ini maka siklus kota hanya akan dianggap sebagai beban pemerintah daerah dan hanya dianggap untuk kepentingan pendamping semata.
  • Mengefektifkan kegiatan dan lembaga yang terkait dengan upaya pemberdayaan di tingkat pemerintah yang selama ini sudah ada. Duplikasi kegiatan atau lembaga atau apapun namanya di tingkat pemerintahan hanya akan memperumit persoalan saja. Sebab persoalan yang muncul di tingkat pemerintah kota dan atau kabupaten lebih banyak hal-hal yang berkaitan dengan kualitas kegiatan bukan kuantitasnya.
Langkah-langkah inilah yang harus kita lakukan untuk tercapaianya policy determinatian dan reform—meminjam istilah Weinberg—dalam siklus kota yang tengah kita lakukan di PNPM Mandiri Perkotaan. Memang tidak mudah, tapi tidak ada hal yang tidak mungkin. Tetap semangat! [Kalteng]

Penulis:
Mohammad Azis 
Tenaga Ahli Pelatihan
OSP 6 Prov. Kalimantan Tengah
PNPM Mandiri Perkotaan  
Editor: Nina Firstavina
Sumber:
http://p2kp.org/wartadetil.asp?mid=6643&catid=2&

Komentar

Postingan Populer