Menakar Kesiapan Pemda Dalam Alih Kelola Program

Ende, 22 April 2015
Menakar Kesiapan Pemda Dalam Alih Kelola Program

  Oleh:
Marius Y. Aiba
Askot CD Mandiri
Kab. Ende
OSP 7 Provinsi Nusa Tenggara Timur
PNPM Mandiri Perkotaan
Ke mana PNPM Mandiri Perkotaan setelah 2014, bagaimana keberlanjutan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat ke depan dan sejumlah pertanyaan lainnya mengemuka ketika PNPM Mandiri secara nasional berakhir 2015. Fase peralihan tanggung jawab pengelolaan program penanggulangan kemiskinan khususnya dalam PNPM Mandiri Perkotaan, sebenarnya bukan hal yang baru didengar dan atau ketahui. Sebab, berkenaan dengan fase alih kelola dimaksud, sebagaimana diketahui telah dirancang sejak awal melalui strategi kebijakan PNPM Mandiri Perkotaan, dimana konstruksi peran pemerintah daerah pada fase pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan termaktub.
Yaitu, tahun 2007-2009 adalah fase pembelajaran. Ini ditandai dengan peran pemda dalam DDUPB dan Monitoring PNPM Mandiri Perkotaan.
Tahun 2010-2012 adalah fase kemandirian, yang ditandai dengan penguatan aparat pemda melalui pelatihan-pelatihan.
Tahun 2013-2014 adalah fase keberlanjutan, yang ditandai dengan alih kelola PNPM Mandiri Perkotaan ke Pemerintahan Daerah (Pemda) termasuk pengelolaan Faskel.
Tahun 2015-…  fase exit strategy. Pada fase ini peran Pemda adalah sebagai executing agency PNPM Mandiri Perkotaan dan good governance.
Dengan tertuangnya proses alih kelola PNPM Mandiri Perkotaan melalui strategi kebijakan PNPM Mandiri Perkotaan, sebagaimana dikemukakan di atas, menjadi jelas bagi kita ke mana arah keberlanjutan PNPM Mandiri Perkotaan pasca 2014 berlabuh? Jawabannya tentu sudah sangat terang benderang, yakni Pemda.
Ya! Alih kelola program oleh Pemda adalah keniscayaan, yang diharapkan dapat menjadi executing agency PNPM Mandiri Perkotaan dan melembagakan prinsip-prinsip program ke depan dalam rangka mewujudkan good governance. Mengapa demikian? Apa yang melatari konsep dan kebijakan alih kelola?
Dalam rancang bangun fase pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan secara jelas dan tegas sebuah tahapan transformasi peran Pemda yang diharapkan dalam kerangka penanggulangan kemiskinan mulai dari fase pembelajaran sampai dengan exit strategy. Bahwa kebijakan alih kelola program ini dimaksudkan, selain untuk mendorong dan memperkuat peran pemda, juga sesungguhnya adalah bahwa Pemda-lah yang lebih mengetahui kondisi riil, baik potensi dan permasalahan kemiskinannya serta karakteristik masyarakatnya.
Seperti apakah kemudian proses alih kelola program Nangkis dari pemerintah pusat kepada Pemda. Apakah kemudian proses alih kelola ini bisa telaksana dan berjalan baik? Bagaimana kemudian kesiapan dan komitmen Pemda dalam menyongsong dan menerapkan secara utuh, baik aset, substansi, konsep pengelolaan program maupun tanggung jawab pengelolaan pendamping dari pemerintah pusat kepada Pemda.
Kesiapan dan Komitmen Pemda serta Komponen Pendukung menjadi Ganjalan Alih Kelola
Meski fase alih kelola program Nangkis merupakan kebijakan nasional PNPM Mandiri  Perkotaan, yang diharapkan kemudian dapat dilaksanakan dan diterapkan keberlanjutan Nangkis oleh Pemda. Bahkan, upaya untuk memberikan pemahaman dalam mendorong peningkatan peran Pemda melalui berbagai kegiatan pertemuan lokakarya ataupun lokalatih pada berbagai level, ternyata tidak serta merta langsung ditangkap oleh Pemda. Malah, bisa dikata belum cukup ampuh mendorong Pemda merespon atau menerapkan program penanggulangan kemiskinan selaras dengan rohnya PNPM Mandiri Perkotaan.
Mengapa? Disadari memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena hal ini sangat bersentuhan dengan yang namanya komitmen politik (political will) Pemda yang harapannya dapat diwujudkan dalam bentuk pro poor policy, pro poor program dan pro poor budget. Selain itu komponen pendukung dalam bentuk regulasi yang memayungi alih kelola baik dari pemerintah pusat maupun di tataran pemerintah Kabupaten/Kota, hingga kini belum terwujud, sungguhpun demikian nasib keberlanjutan program melalui alih kelola lagi-lagi tergantung pada kesiapan dan komitmen Pemda, sebab pro poor policy, pro poor program dan pro poor budget apalah artinya jika ternyata hanya sebagai slogan tanpa makna dan hanya sebagai pemanis dalam penyelenggaraan perencanaan pembangunan reguler.
Selanjutnya sebagaimana yang diharapkan bahwa keberlanjutan kelembagaan yang sudah ada di masyarakat, melalui pembinaan dan pengembangan kapasitas BKM dan KSM, pengalokasian dan penyaluran dana, pengelolaan aset baik fisik maupun non fisik, penyusunan sistem informasi dan pengelolaan pendamping, semuanya itu memerlukan regulasi sebagai landasan hukum. Sebab kebijakan pemerintah boleh ada, tapi belum tentu bisa berjalan jika tidak dilandasi oleh payung hukumnya.
Kelembagaan Nangkis di Daerah Belum Optimal
Terdapat beberapa permasalahan mendasar terkait dengan unsur kelembagaan yang dibentuk di tingkat pemerintah kabupaten/kota yang seyogianya menjadi pilar utama sekaligus menjadi penggerak untuk memainkan peran masing-masing pemangku kepentingan dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan di daerah. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan pembentukan lembaga-lembaga tersebut hanya sekadar pelengkap dalam merespon tuntutan regulasi ataupun kebijakan program, namun peran dan fungsinya tidak nampak. Dan akhirnya tidak berkontribusi terhadap Pemda dalam mendukung penanggulangan kemiskinan di daerah.
Adapun permasalahan kelembagaan dimaksud adalah, pertama, belum optimalnya TKPKD dalam mengkoordinasikan dan mensinergikan program-program berbasis penanggulangan kemiskinan yang ada di daerah , tumpang tindih program dan kegiatan antara program nangkis yang satu dengan program nangkis lainnya. Bahkan, terkesan urus masing-masing program (berdasarkan amanah dari pemberi program). Analisis dan rencana aksi program kegiatan yang terdanai belum menjawab persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Permasalahan lainnya terkait kelembagaan TKPKD tingkat kabupaten/kota bahkan sebagian besar TKPKD tingkat kabupaten/kota tidak aktif.
Kedua, keberadaan Komunitas Belajar Perkotaan (KBP) “hidup enggan mati tak mau”. Pepatah itu mungkin cocok mengibaratkan kondisi dan keberadaan KBP saat ini, sangat tragis rasanya ketika keberadaan KBP hanya meninggalkan nama karena kondisinya sudah lumpuh. Sama seperti keberadaan TKPKD, KBP pun sudah banyak yang tidak aktif.
Sungguh pun demikian gong alih kelola telah dikumandangkan. Siap atau tidak siap, yang pasti memasuki tahun 2015, alih kelola PNPM Mandiri Perkotaan yang menjadi target kebijakan pemerintah pusat tetap berjalan, tentu dalam rangka pelaksanaan alih kelola program ini memerlukan dukungan kita semua dari berbagai level dan kapasitas kita masing-masing. Beberapa rumusan rekomendasi yang dihasilkan dalam kegiatan Lokalatih Keberlanjutan bagi Pemda kota/kabupaten pada September 2014 lalu, kiranya menjadi energi positif mendukung pemahaman dan kesiapan pelaksanaan alih kelola program. Semoga. [NTT]
Editor: Nina Razad 

Sumber:http://p2kp.org/wartadetil.asp?mid=7484&catid=2&

Komentar

Postingan Populer